Motto

Never Think to STOP and Never Stop to THINK
Because EVERYTHING IS POSSIBLE IF YOU WANT AND TRY

Jumat, 07 November 2008

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Thailand sering dijuluki sebagai “negara kudeta”. Betapa tidak, sejak sistem monarkhi konstitusional diberlakukan pada tahun 1932 sampai dengan represi politik tahun 2006, negara ini telah mengalami kudeta dan percobaan kudeta sebanyak 25 kali. Artinya setiap jangka waktu rata-rata ‘kurang dari 3 tahun’, militer selalu tergerak untuk menumbangkan pemerintahan yang berkuasa. Terakhir kali, militer merampas kekuasaan dari pemerintahan sipil Thaksin Shinawatra. Kudeta ini didahului dengan serentetan gejolak politik yang cukup tajam. Gelombang pergerakan massa yang menamakan diri Persatuan Rakyat untuk Demokrasi menuntut Thaksin untuk turun dari jabatannya. Selain dianggap melakukan penyalahgunaan kekuasaan, Thaksin pada waktu itu juga dituduh telah melakukan korupsi, nepotisme, pembelengguan hak sipil dan politik, dan sebagainya. Dengan alasan menyelamatkan negara dari kekacauan politik, militer di bawah pimpinan Jenderal Sonthi Boonyaratglin melakukan kudeta tak berdarah pada tanggal 19 September 2006. Administration Reform Council (ARC) atau “Dewan Pembaruan Administrasi” sebagai manifestasi dari otoritas militer kemudian mengumumkan bahwa mereka telah mengambil alih kekuasaan negara. Pernyataan ini juga dibarengi dengan dikeluarkannya perintah kerajaan yang dibuat oleh Raja Bhumibol Adulyadej untuk mengangkat Jenderal Sonthi Boonyaratglin sebagai presiden ARC. Selanjutnya, untuk mengisi kekosongan kursi perdana menteri, pada tanggal 1 Oktober 2006 mantan panglima militer Surayud Chulanont dilantik sebagai perdana menteri sementara Thailand. Sejarah Berulang Kurang dari dua tahun pasca krisis politik tersebut, kita diperhadapkan kembali pada krisis politik yang menimpa pemerintahan PM Samak Sundaravej, pengganti Surayud yang terpilih melalui pemilihan umum. Persis seperti yang dialami Thaksin, Samak harus menghadapi gelombang protes yang besar dan tekanan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Menariknya, kelompok yang menjadi motor penggerak aksi kali ini juga merupakan kelompok yang melakukan protes terhadap Thaksin dua tahun yang lalu. Salah satu alasan munculnya tuntutan mundur terhadap Samak adalah kedekatannya dengan Thaksin. Perlu diketahui bahwa Partai Thai Rak Thai (pengusung Thaksin) yang dibubarkan pada 30 Mei 2007 telah bertransformasi menjadi Partai Kekuatan Rakyat (People Power Party/PPP) dan kembali berhasil memenangi pemilu pada tanggal 23 Desember 2007 dengan Samak sebagai Perdana Menteri terpilih.

Alasan lain penolakan terhadap Samak adalah kegagalannya dalam beberapa kebijakan seperti sengketa perebutan kuil dengan Kamboja, pemberdayaan ekonomi rakyat dan sebagainya. Sama seperti Thaksin pada saat itu, Samak juga bersikeras untuk tidak mundur dari jabatannya. Bahkan ia mengusulkan adanya sebuah referendum. Namun ternyata Samak justru tidak tumbang oleh kudeta militer, referendum, ataupun tekanan demonstran. Ia tumbang setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ia telah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi. Alasannya sangat sepele, yaitu karena ia hadir untuk mengisi sebuah acara memasak di sebuah stasiun televisi. Konstitusi Thailand memang melarang seorang Perdana Menteri bekerja pada perusahaan atau institusi lain.

Rumusan dan Konsep Masalah

Jika dicermati secara lebih mendalam, ternyata posisi aktor-aktor dalam peta politik Thailand yang dominan menjelang mundurnya Thaksin dan Samak juga relatif sama. Pertama, gelombang massa demonstran yang sebagian besar merupakan masyarakat middle class. Mereka merasa kecewa atas kebijakan ekonomi yang merugikan dan pemerintahan yang buruk. Kedua, masyarakat pedesaan yang sangat setia pada Thaksin dan Samak (dianggap sebagai representasi dari Thaksin). Kelompok masyarakat ini merupakan basis utama pendukung Thai Rak Thai dan PPP karena mereka merupakan kelompok yang sangat diuntungkan dengan berbagai kebijakan populis ala Thaksin. Ketiga, militer yang cenderung bersikap diam namun sebetulnya mengambil posisi oposan dengan pemerintah. Salah satu buktinya adalah keengganan militer untuk mendukung penetapan keadaan darurat oleh Samak, sehingga pada akhirnya penetapan tersebut gagal dan dibatalkan. Keempat, Raja yang mengambil sikap jika pemerintahan menemui kebuntuan. Sesuai sistem monarkhi konstitusional yang dianut oleh Thailand, memang raja berhak memutuskan suatu kebijakan pada masa-masa sulit.

Perbedaan mendasar antara krisis dalam pemerintahan Thaksin dan Samak adalah bagaimana sistem mengakhirinya. Pemerintahan Thaksin diakhiri dengan kudeta, sedangkan pemerintahan Samak diakhiri dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Padahal sebetulnya kemiripan konstelasi politik sangat memungkinkan militer untuk kembali melakukan kudeta terhadap Samak. Hanya saja militer pada waktu itu mungkin belum menemukan momentum yang tepat untuk melakukannya dan MK telah terlebih dahulu memutuskan bahwa Samak harus mundur. Setelah turun dari jabatannya, Samak digantikan oleh Somchai Wongsawat yang juga berasal dari PPP. Mengingat PPP menjadi partai berkuasa, dia dengan mudah mendapatkan kursi Perdana Menteri. Celakanya, Somchai juga memiliki kedekatan dengan Thaksin, bahkan melebihi kedekatan Samak dengan Thaksin. Jika Samak hanya memiliki hubungan persahabatan, Somchai memiliki hubungan kekerabatan dengan Thaksin, yaitu sebagai adik ipar Thaksin. Pada saat ini banyak pihak yang meragukan kepemimpinan Somchai.

Dengan melihat program-program kebijakan yang ia tawarkan, nampaknya ia tidak akan jauh-jauh dari karakter dua pendahulunya, yaitu Thaksin dan Samak. Ditambah lagi dengan penilaian publik yang menganggap bahwa sosok Somchai lekat dengan nepotisme. Artinya, pergerakan yang selama ini dilakukan PAD tidak akan berhenti, bahkan berpotensi semakin besar. Mereka beranggapan bahwa baik Samak maupun Somchai merupakan ‘boneka’ Thaksin. Bayang-bayang Kudeta Mencermati apa yang terjadi di Thailand sejak 1932 dan krisis yang akhir-akhir ini terjadi, kita dapat menyimpulkan bahwa sampai saat ini sebenarnya Thailand selalu dibayang-bayangi oleh potensi terjadinya kudeta. Dengan meminjam konsep Huntington dan Joan Nelson tentang siklus otoritarianisme, kita dapat menjelaskan kudeta yang terus berulang di Thailand sebagai sebuah siklus yang terus berputar, yaitu siklus perebutan kekuasaan. Konsep ini memberikan gambaran tentang keterlibatan rezim otoriter dalam kekacauan politik. Dalam konsep ini dijelaskan bahwa negara-negara dengan rezim otoriter yang menutup keran partisipasi politik akan mencapai titik jenuh yang menimbulkan apa yang disebutnya “ledakan sosial”. Tuntutan bagi partisipasi yang besar ini akan melahirkan pemerintahan baru yang cenderung lebih terbuka. Namun, suasana ini tidak akan bertahan lama karena melemahnya kemampuan negara dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan tersebut. Hal ini akan memunculkan represi politik dan otoritarianisme baru untuk mengatasi kekacauan politik. Siklus akan terus berputar menuju kembali ke ledakan sosial, kecuali ada kebijakan-kebijakan tambahan yang diambil rezim untuk menghentikan siklus. Yang menjadi poin penting di sini adalah bahwa kondisi-kondisi yang mendorong terus berlangsungnya siklus tersebut cenderung sama, yaitu ledakan sosial dan tuntutan perubahan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah. Artinya, Thailand di bawah pemerintah Somchai saat ini juga masih berada dalam putaran siklus tersebut karena besarnya potensi ketidakpuasan rakyat terhadapnya.

Sesuai dengan pendapat Huntington di atas, kondisi ini sangat memungkinkan munculnya rezim otoritarianisme baru untuk mengatasi kekacauan politik tersebut. Karena kemunculan rezim otoritarianisme baru dalam konteks Thailand biasanya ditandai dengan peristiwa kudeta militer, maka ancaman yang dialami Thaksin, Samak, dan Somchai sebetulnya sama, yaitu potensi untuk ditumbangkan melalui kudeta. Apa yang Harus Dilakukan Somchai? Dengan berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka dalam pemerintahannya Somchai harus sangat berhati-hati dan membuktikan bahwa ia mampu mengatasi represi politik yang sekarang sedang terjadi. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan Somchai. Pertama, ia harus belajar dari kesalahan Thaksin dan Samak. Kedua pemimpin itu gagal meredam kubu oposisi di parlemen sehingga tidak mampu menjalankan pemerintah dengan efektif. Apalagi posisi Somchai di internal PPP pun tidak terlalu bagus. Sebelumnya banyak anggota PPP yang menolak pencalonan dirinya sebagai PM. Kedua, ia harus membangun rekonsiliasi dengan para demonstran. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan dialogis dan negosiasi. Hal ini juga belum dilakukan dengan baik oleh Thaksin dan Samak. Ketiga, ia harus melepaskan citra PPP sebagai partai yang berorientasi pada rakyat kalangan menengah ke bawah dalam berbagai agenda dan kebijakan. Perlu diketahui bahwa program-program kebijakan (terutama dalam bidang ekonomi) yang ia susun sekarang ini sangat identik dengan program kebijakan Thaksin.

Hal ini pasti akan kembali menyulut kemarahan middle class dan kalangan atas (pemilik modal). Maka dari itu, ia harus bisa membuat program kebijakan yang dapat menyentuh semua kelas di Thailand. Jika hal-hal tersebut tidak diprioritaskan oleh Somchai, maka potensi kudeta oleh militer akan selalu membayangi pemerintahannya. Karena pada dasarnya kekacauan politik dan ekonomi yang berkepanjangan itulah yang selalu menggerakkan militer untuk melakukan kudeta.

PEMBAHASAN

Thaksinomics

Thailand sedang tumbuh menjadi a nation in waiting. Beragam prakarsa yang ditawarkan oleh kedua pihak yang sedang bersengketa, pada hari-hari terakhir justru mengisyaratkan terjadinya jalan buntu.

Kubu penentang Thaksin yang bergabung dalam PAD (Aliansi Rakyat untuk Demokrasi) telah bertekad melakukan aksi unjuk rasa terus-menerus sampai lawannya mundur. Sementara Thaksin yang kini care taker perdana menteri setelah Dekrit Raja membubarkan parlemen, juga bertekad tetap bertahan.

Saya tak akan menyerah kepada tekanan dari jalanan. Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan yang terpilih lewat pemilu demokratis dijatuhkan oleh aksi massa. Dengan situasi dan kondisi demikian, inilah hari-hari panjang yang harus dialami dengan tegang serta ditunggu dengan gelisah oleh masyarakat Thailand, menjelang puncak acara peringatan 60 tahun Raja Bhumibol bertahta. Acara bermakna yang akan segera berlangsung besar-besaran serta dipersiapkan dengan rapi, mengundang semua monarki dari seluruh penjuru dunia. Adapun boikot yang diserukan ketiga partai oposisi; Demokrat, Muan Chon, dan Chart Thai, bukan hanya menjadikan pemilu tanggal 2 April mendatang tidak menentu, tetapi justru bisa melumpuhkan beragam segi kehidupan.

Tawaran Thaksin mengundurkan batas akhir pendaftaran para calon agar pihak oposisi bisa mempersiapkan diri, tidak memperoleh tanggapan sehingga Thaksin menyatakan, Selama rakyat masih mendukung, tidak ada kata mundur sebab merekah pendukung saya. Namun, kalau nanti lebih separuh rakyat tidak ikut pemilu, baru saya mengundurkan diri.

Krisis politik di Thailand mulai berkobar disulut aksi penjualan 49 persen saham Shin Corp kepada Temasek Holdings dari Singapura. Perusahaan tersebut dijual (dan keluarga Thaksin meraih keuntungan 1,9 miliar dollar AS) hanya dua hari setelah Pemerintah Thailand mengubah peraturan rasio kepemilikan saham perusahaan asing dari 25 menjadi 49 persen.

Tentang tuduhan memperkaya diri, Thaksin menjawab bahwa saham dimaksud justru dia jual agar keluarganya tak lagi ikut mengelola bisnis. ... sejak 16 tahun lalu peraturan menyebutkan, keuntungan dari perdagangan saham adalah bebas pajak dan berlaku untuk semua orang.

Dengan nada tinggi ditambahkannya, Sejumlah pengurus Partai Demokrat merupakan pemain bursa saham. Mereka setiap hari berdagang saham serta meraih keuntungan jutaan baht. Mengapa sekarang mereka mengkritik keluarga saya, sedangkan ketika menikmati keuntungan serupa, sama-sama bebas pajak, mereka tidak pernah mengatakannya.

Segera Bertarung

Perkembangan di atas menjadikan masa depan Thailand menjadi pertaruhan dan semua tokoh sedang mempersiapkan kartu-kartu mereka. Selain Thaksin Shinawatra dan Sondhi Limthongkul sedang memainkan kartu, para tokoh politik lain juga harus segera turun tangan.

Salah seorang di antaranya Abhisit Vejjajiva , ahli hukum lulusan Oxford, yang sekarang memimpin Partai Demokrat dan punya 96 kursi hasil pemilu tahun 2005 (digabung dengan dua parpol oposisi, jadi 124 kursi). Sebagai juru bicara sekaligus pimpinan penentang Thaksin, Abhisit mempertaruhkan posisinya dengan memboikot pemilu.

Apakah ini bakal menjadikan kehidupan politik di Thailand lebih matang dan demokratis sehingga dia tampil pasca-Thaskin? Ataukah justru, ketiga parpol akan jadi gelandangan politik karena berada di luar parlemen?

Tokoh lain yang wajib berperan Mayor Jenderal (Purn) Chamlong Srimuang , yang bersama pengikutnya sudah melakukan pepe (berjemur), berkemah di Sanam Luang, tanah lapang depan Royal Grand Palace, Istana Raja. Tahun 1992 Chamlong (eks mentor politik yang kini melawan Thaksin) turun ke jalan memimpin ribuan massa melengserkan Jenderal Suchinda Krapayoon yang menjadi perdana menteri tanpa lewat pemilu. Aksinya berhasil dengan memakan korban lebih 50 nyawa, dibantai para petugas keamanan di siang hari, di tengah jalan raya kota Bangkok. Peristiwa traumatis yang dia lukiskan, Saya tidak akan pernah melakukannya lagi. Sekarang, kami bertekad turun ke jalan dengan damai. Namun, persoalannya, Thaksin naik berkat pemilu.

Sementara itu, sikap diam Jenderal (Purn) Prem Tinsulanonda tampaknya juga akan segera berubah. Prem pernah menjadi perdana menteri (1980-1986) dan kini ketua Privy Council, dewan penasihat raja. Ketika memimpin Thailand, Prem dua kali mampu menggagalkan kudeta yang memaksanya turun.

Oleh karena itu, tokoh senior kelahiran Songkla di Thailand Selatan ini punya banyak loyalis fanatik (Prem pernah menjabat Panglima Militer Thailand) sekaligus negarawan ulung. Berkat posisinya, kata dan kebijakannya diharapkan bakal meredam kemelut. Selama ini Prem membisu, tetapi apakah dia terus begitu seandainya Raja meminta dan negara membutuhkan arahan?

Tokoh lain yang sedang ditunggu sikapnya dengan cemas adalah Jenderal Sonthi Boonyarataglin, perwira tinggi Muslim pertama yang menjabat Panglima Angkatan Darat. Sejak kerusuhan tahun 1992, militer Thailand telah mengundurkan diri dari arena politik praktis. Awal bulan ini Thaksin makan malam dengan Southi bersama sejumlah panglima militer lain. Apakah pertemuan tersebut isyarat bahwa mereka akan mendukung Thaksin, bekas rekannya alumnus Angkatan 10, Akademi Militer Kerajaan?

Dengan diplomatis Jenderal Sonthi menukas, Kami hanya kangen-kangenan. Kalian tahu, militer tidak akan pernah berpihak dan campur tangan dalam persoalan politik. Kudeta hanya cerita masa lalu. Apakah pernyataannya bisa dipegang dan mereka tetap tidak tergoda turun tangan, seandainya dead lock politik berkepanjangan atau kerusuhan melanda Bangkok semisal oposisi nekat memaksa Thaksin turun secara paksa?

Terakhir, tokoh lain yang paling ditunggu untuk segera memainkan peran justru Raja Bhumibol Aldulyadej . Posisinya paling strategis dan merupakan lembaga tradisi yang tetap mendapat kepercayaan rakyat. Bahkan, Thaksin berulang kali menegaskan, dia legowo mundur jika Raja memerintahkan. Oleh karena itu, peran yang bisa dilakukan Raja dalam menembus jalan buntu adalah menunjuk perdana menteri ad interim berikut menetapkan tanggal pemilu. Ini bisa berbareng dengan amandemen konstitusi untuk mengurangi kekuasaan besar perdana menteri, sesuai tuntutan oposisi.

Raja tidak pernah terbuka mendukung salah satu pihak. Namun, beberapa tahun silam Raja Bhumibol mengingatkan, Prioritas saya hanya untuk kesejahteraan rakyat, tidak ada yang lain. Maka, ketika kesejahteraan rakyat terganggu akibat kemelut berkepanjangan, logis kalau Raja bakal memainkan kartunya. Isyarat inilah yang ditunggu semua pihak, termasuk Chamlong yang berkemah di depan Istana. Kami akan terus di sini sampai perdana menteri lengser .... Isyarat bahwa mereka menunggu jalan keluar yang pada saat dan tahapan sekarang hanya bisa diberikan Raja.

Skenario Kekalahan Oposisi

Jejak pendapat Universitas Assumption melukiskan, lebih 75 persen suara menolak boikot dan meminta kubu oposisi untuk mengemukakan program jelas lewat jalur konstitusi. Kalau para wakil oposisi populer di mata rakyat, pasti mereka meraih kemenangan.

Upaya oposisi merebut minimal 200 kursi majelis rendah agar kelak bisa merumuskan mosi tidak percaya, sangat sulit. Pada pemilu 2005, partai baru bentukan Thaksin, TRT (Thai Rak Thai) justru memborong 375 dari 500 kursi yang tersedia. Sebagian besar pemilih adalah rakyat kecil yang tinggal di luar Bangkok dan menempatkan Thaksin sebagai pahlawan berkat beragam kebijakan populis yang menyentuh akar rumput. Sejak kredit lunak petani, peningkatan kesehatan, menaikkan gaji perangkat desa sampai tambahan bea siswa kepada ratusan pelajar dan mahasiswa.

Isu penyalahgunaan kekuasaan, kebijakan semau gue atau memperkaya diri dan keluarga, tidak cukup perkasa untuk merebut suara rakyat. Sebaliknya, kisah sukses Thaksin, dalam waktu kurang dari 20 tahun bisa melesat dari anak desa asal Chiang Mai di pelosok Thailand Utara, masuk polisi sampai letnan kolonel, terjun ke bisnis, menjadi kaya raya dan kini perdana menteri hasil pemilu, menurut pemahaman (inkarnasi) Buddhis justru bukti kehidupan masa lalunya banyak menanam budi. Oleh karena itu, meski di Bangkok nama dan gambarnya setiap saat diolok-olok media dan dikecam ratusan demonstran, di mata masyarakat bawah nama Thaksin tetap dipuja.

Tekad kelompok oposisi melengserkan Thaksin dengan segala cara bahkan jalan kekerasan kalau perlu, menjadi bumerang. Sebab, bertentangan dengan semangat demokrasi yang sedang ingin ditegakkan, selepas mereka beraksi pada bulan Mei berdarah tahun 1992 dengan menyeret turun rezim militer.

Isyarat bahwa kubu oposisi goyah tampak pada unjuk rasa terakhir. Berlawanan dengan pernyataan sebelumnya akan mengerahkan massa sebanyak 100.000 sampai 200.000 orang, sampai senja turun hanya hadir tak lebih dari 50.000 demonstran. Ini adalah unjuk rasa terbesar penentang Thaksin, tetapi toh jumlahnya masih belum mengesankan. Sebab pada saat yang sama, di Chiang Mai pendukung Thaksin berhasil mengerahkan lebih dari 20.000 massa.

Chiang Mai bukan Bangkok. Tapi penduduk metropolitan Bangkok jauh berlipat dibanding kota wisata Chiang Mai yang sepi di pegunungan. Saat oposisi berkumpul di Sanam Luang, dengan rasa percaya diri luar biasa sekaligus mendapat sambutan riuh, Thaksin meresmikan perumahan penduduk miskin di bagian lain Bangkok. Kita buktikan, siapa yang bekerja untuk rakyat. Kita yang ada di sini atau mereka yang hanya berteriak-teriak tak karuan.

Mencoba menegakkan demokrasi di sebuah negara berkembang sekaligus monarki yang dalam sejarahnya tidak mempunyai tradisi itu, perlu waktu, kesabaran sekaligus pengorbanan besar. Aksi menentang Thaksin yang umumnya dilakukan kelas menengah dan hanya terbatas penduduk Bangkok, belum sanggup menandingi rekam jejak sukses Thaksin mengatasi krisis ekonomi yang pernah melanda seluruh negara. Untuk membangun masyarakat demokratis, pemilu tawaran menarik tetapi bukan merupakan satu-satunya. Kemenangan Hamas dalam pemilu Palestina langsung dikutak-kutik oleh negara-negara yang menyebut dirinya pelopor demokrasi.

Sebagai pendekar demokrasi, kubu oposisi selayaknya bersedia membuktikan diri dengan ikut uji kelayakan lewat pemilu. Namun, mereka tak ingin terjebak karena lewat pemilu justru bakal dikalahkan Thaksin. Sebaliknya dengan boikot, apa yang bisa dilakukan selain diam menunggu keajaiban. Sampai Raja memerintahkan Thaksin mundur atau pihak militer memaksakan diri mengambil alih kekuasaan? Artinya, di luar konstitusi sekaligus mendorong Thailand kembali ke jalan yang tidak demokratis.

Satu hal yang paling kontroversial dari kepemimpinan Thaksin sejak tahun 2001 adalah kebijakan ekonomi barunya yang terkenal dengan Thaksinomics. Slogan yang populer adalah a company is a country, a country is a company. Thaksin memperlakukan negara dan ketatapemerintahan berbasis model pengelolaan perusahaan sehingga ia menyebut dirinya sebagai perdana menteri chief executive officer (CEO) (Painter, 2005; Pongpaichit dan Baker, 2004).

Di awal kepemimpinannya, meski populer dengan penentangannya terhadap keterlibatan IMF yang menyebabkan krisis finansial di Thailand, uniknya, model pembangunan ekonominya dibentuk berdasar paradigma neoliberal. Hal ini dimungkinkan oleh Konstitusi Rakyat 1997.

Di satu sisi, Thaksinomics mengutamakan aneka kebijakan pro rakyat miskin, tetapi di sisi lain kebijakan neoliberalnya amat kapitalistik. Tak mengherankan, kelas menengah sebagai salah satu kekuatan signifikan secara politik di Thailand mendukung dan diuntungkan kebijakan awal itu.

Namun, yang tidak banyak disinggung atas aneka kebijakan Thaksin adalah implementasi dan dampak yang merampas dan melanggar HAM. Banyak kasus pelanggaran HAM, di antaranya kasus megaproyek bendungan Pak Mun Dam di utara, pembangunan pipa gas Thai-Malay di Provinsi Songkhla, dan aneka privatisasi yang gencar dilakukan.

Guna mendukung Thaksino- mics, ia mengeluarkan kebijakan perubahan administrasi pemerintahan. Menurut Thaksin, tata pemerintahan di Thailand adalah model tua nan korup. Perubahan ketatapemerintahan (governance reform) ini dilegitimasi melalui hukum pada tahun 2002, yang kerap disebut new public management. Mesin teknokrasi dalam pembaruan birokrasi pemerintahan ini yang disebut Thaksinocracy, yang menggabungkan model kewirausahaan birokrasi dengan pengembangan ekonomi neoliberal.

Tentu, kebijakan "ramah pasar" (market friendly) dalam bingkai Thaksinocracy ini mendapat dukungan internasional seperti Bank Dunia dan Amerika Serikat yang cukup signifikan dalam membantu Thailand semasa rezim Thaksin. Karena pertemuan paradigma antara kebijakan pemerintahan Thailand dan proponen neoliberal dari lembaga atau negara donor, proyek-proyek semacam good governance dan antikorupsi menjadi primadona dalam konteks itu. Pada Maret 2003, sebuah Royal Decree on Good Governance telah dikeluarkan sebagai alat legitimasi proyek.

Dalam praktiknya, sebagaimana terjadi bagi negara-negara lain yang latah memproyeksikan politik ekonomi neoliberal, termasuk Indonesia, proyek good governance dan antikorupsi tak berhasil membongkar akar masalah ketatapemerintahan yang lebih berpihak kepada rakyat. Dalam konteks Thailand, model pembaruan demokrasi ala Thaksinocracy identik dengan tata pemerintahan yang korupsi, faksionalisme, dan tidak sensitif terhadap persoalan HAM.

Apalagi bila merujuk kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi hampir setiap hari di Provinsi Yala, Narathiwat, dan Pattani, yang hingga kini menewaskan lebih dari 4.000 orang dan 700 orang telah diculik semasa rezim Thaksin.

Pemicu Krisis

Pemicu awal krisis politik sebenarnya bukan masalah HAM, tetapi isu elitis yang menyangkut penjualan aset 73,3 miliar baht Shin Corp ke Temasek Holding tanpa pembayaran pajak.

Kelas menengah di Thailand yang berkepentingan atas persoalan korupsi ini memobilisasi rakyat untuk menggulingkan Thaksin, tetapi tidak cukup berhasil. Sementara penyelesaian krisis politik ala Thaksin sendiri dengan penyelenggaraan pemilu gagal dan menyeret para pejabat Komisi Pemilihan Umum ke pengadilan.

Di tengah krisis politik dan hukum inilah, Thaksin yang mengumumkan pengunduran diri tiba-tiba kembali. Naiknya Thaksin ke kursi perdana menteri inilah yang disebut-sebut masyarakat Thailand sebagai penipuan terbesar Thaksin, baik terhadap rakyat, militer, dan raja yang selama ini berupaya menyelesaikan krisis secara arif dan bijak tanpa kekerasan.

Inilah salah satu amunisi yang mendorong militer melakukan kudeta, yang saat itu tidak bisa dilakukan karena menghormati Raja Bhumibol yang sedang merayakan ulang tahun ke-60 kekuasaan monarki.

Demokrasi ala Thaksin dengan mudah dipatahkan militer, tetapi hal itu belum menjamin Thaksinomics otomatis hilang seiring dengan kudeta. Kemungkinan besar Thaksinomics lain dengan watak neoliberal akan bertahan mengingat elite kelas menengah akan banyak terlibat pada rezim pasca-Thaksin. Inilah yang menjadi perhatian baru rakyat Thailand apakah masalah HAM, sebagai masalah struktural, bisa diatasi pascakudeta militer itu.

Kekhawatiran ini bisa dipahami karena selain cara per- gantian kekuasaan melalui proses nondemokratis, tetapi juga preskripsi militer soal penghapusan Konstitusi Rakyat 1997 dan pelarangan media untuk melakukan wawancara publik menjadi petaka awal bagi pemajuan demokrasi dan HAM di Kerajaan Thailand.

Penggulingan Thaksinomics

Tidak terlampau mengejutkan bila di tengah proses demokratisasi yang dibangun di Thailand, secara politik tiba-tiba militer mengkudeta pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra Selasa malam lalu.

Hal ini disebabkan, pertama, sejarah Thailand amat lekat dengan sejarah kudeta militer dalam kurun 70 tahun terakhir. Kedua, peran kerajaan yang amat kuat, baik di mata pemerintahan dan rakyat Thailand, sehingga tanpa restu kerajaan, kudeta tak akan mendapat dukungan. Ketiga, posisi militer dalam krisis politik yang terjadi sekitar setahun terakhir cukup netral dalam konflik antara kubu Thaksin dan oposisi yang dipimpin oleh pengusaha media Sondhi Limthongkul dan mantan pejabat militer Chamlong Srimuang.

Kudeta yang berlangsung damai dan nyaris tanpa kerusuhan itu lebih disebabkan sinyal lampu hijau Raja Bhumibol Adulyadej yang menyebabkan tidak hanya rakyat Thailand, tetapi Thaksin pun "tunduk" atas kudeta militer. Di sinilah yang menarik dari proses demokrasi di Thailand, kekuasaan monarki konstitusional masih berpengaruh.

Pertanyaannya, apakah kudeta dilancarkan untuk menggulingkan Thaksinocracy yang dianggap memecah belah rakyat Thailand, atau penggulingan Thaksinomics? Pertanyaan ini terkait dengan masa depan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang selama ini dipandang sebelah mata dalam diskursus krisis politik di Thailand.

Suara Thaksin Setelah Terguling dari Kekuasaannya

Bangkok (SIB) Setahun pasca kudeta yang dilakukan pimpinan militer, proses demokrasi berjalan tanpa arah yang jelas dan keadaan negara gajah putih tersebut cenderung terjerumus kedalam keadaan yang lebih buruk. Demikian dikatakan kelompok HAM setempat, seperti dilaporkan kantor berita Associated Press. Militer Thailand menggulingkan PM Thaksin Shinawatra pada 19 September lalu dengan tuduhan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan ketika dia sedang berada di New York. Kudeta tersebut kemudian menetapkan pemimpin sementara, membatasi kegiatan politik dan penyusunan konstitusi baru. Sementara PM terguling Thaksin Shinawatra mengeluarkan pernyataan pedas kepada para jendral yang telah menggulingkannya melalui kudeta berdarah setahun lalu dan menuduh dunia menutup mata atas hilangnya norma demokrasi di Thailand.

Dalam komentarnya di Wall Street Journal, Thaksin mengatakan, pemimpin kudeta yang telah menuduhnya melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan telah salah dalam mengurus perekonomian dan gagal membuktikan dugaan korupsi yang menjadi alasan penggulingannya. Dalam refleksi kejadian tahun lalu, saya dikejutkan dengan penderitaan yang telah membebani rakyat Thailand karena penempatan prioritas yang salah oleh junta militer, tulis Thaksin dalam jurnalnya. Thaksin mengatakan, konstitusi yang ditetapkan militer pasca kudeta dengan penunjukkan komite sangat tidak demokratis dibanding konstitusi rakyat yang diadopsi pada 1997 yang kemudiah ditiadakan setelah kudeta.

Thaksin juga menganggap, janji pelaksanaan pemilu pada 23 Desember mendatang bisa saja tidak bebas dan adil karena peraturan militer tetap dipaksakan di hampir separuh wilayah Thailand yang memiliki 76 provinsi, yang sebagian merupakan basis pendukung partainya, Thai Rak Thai.

Dunia sepertinya menutup mata atas pelanggaran norma-norma demokrasi, ungkapnya menuduh komunitas internasional dalam mencari jalan lain untuk memberikan alasan pada para jenderal militer menunda pemilu. Bagaimanapun juga dunia telah salah persepsi jika mereka berpikir akan ada stabilitas di Thailand tanpa demokrasi yang sesungguhnya, tegasnya mengakhiri pernyataan dalam jurnal tersebut.

Pemerintahan Thailand Pasca Penggulingan Perdana Menteri Thaksin

Diperlukan tiga bulan bagi para pelaku kudeta di Thailand di bawah Dewan Keamanan Nasional (CNS) untuk mengungkapkan hasil kerja mereka. Sejak mereka menggulingkan mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra dalam sebuah kudeta 19 September lalu, sedikit sekali kemajuan yang dicapai CNS dalam membenarkan kudeta tersebut dan mengkonsolidasikan posisi pasca kudeta mereka. Pengangkatan sebuah kabinet sementara CNS yang didominasi oleh para pensiunan birokrat dan pengaruhnya atas Majelis Nasional interim telah mendapat kecaman luas. Namun karena proses pembuatan konsep konstitusi masih sedang berlangsung, kini jelas bahwa para jenderal CNS ingin melihat dibangunnya demokrasi baru di negara itu.

Jenderal Sonthi Boonyaratkalin baru-baru ini mengangkat isu konstitusional yang cenderung menetapkan nada dan arah menuju proses pembuatan konsep konstitusi tersebut. Di mata para jenderal CNS, konstitusi baru tersebut harus tidak sama demokratisnya dengan pendahulunya dari tahun 1997. Dalam pemikiran para jenderal itu terdapat demokrasi Thai model mereka sendiri yang cocok untuk ketidak-leluasaan dan kelemahan-kelemahan tertentu.

Berkaitan dengan harapan publik bagi dikembalikannya kekuasaan demokratis dengan segala perbaikannya, sasaran konstitusional militer nampaknya malah semakin mendapat tantangan publik. Jelasnya, konstitusi baru itu membentuk jalur kesalahan baru dari pemecah-belahan dan konfrontasi politik berkepanjangan di Thailand. Yang paling menonjol dari preferensi konstitusional CNS itu ialah mengenai jabatan perdana menteri. Idealnya, militer ingin menghilangkan persyaratan bahwa perdana menteri adalah salah seorang anggota parlemen terpilih. Karena saran ini langsung mendapat kecaman publik, Jenderal Sonthi mengangkat isu tentang batas waktu dua kali masa jabatan bagi seorang perdana menteri, yang tidak cocok dengan praktek konvensional demokrasi parlementer.

Jenderal Sonthi juga mengangkat isu tentang kemungkinan diterapkannya penunjukan anggota Senat secara sebagian-sebagian atau sepenuhnya, mencegah fusi di kalangan partai setelah pemilu, dan larangan adanya pejabat pemerintah (caretaker) selama pemilu (kantor pemerintah akan mengendalikan negara walau ada pemerintah yang masih memegang jabatan selama pemilu berlangsung). Undang-undang yang menetapkan para calon Perdana Menteri menjadi anggota partai politik selama 90 hari sebelum mereka dibolehkan mengikuti pemilihan, juga dihapuskan.

Semua usul dan rencana ini menunjukkan apa sebenarnya yang ada dalam benak para jenderal CNS selama dan sejak kudeta. Mereka juga menunjukkan ketidak-percayaan politik militer terhadap para politisi yang sudah terpilih dan bermaksud mengekang kekuasaan dan pengaruh partai-partai politik. Diatas semuanya itu, CNS ingin mengembalikan dan menempatkan kembali sejumlah peraturan demokratis dari piagam 1997 yang telah memudahkan kebangkitan Thaksin menuju kekuasaan dan memungkinkannya memonopoli lingkungan politik.

Untuk mewujudkan perubahan konstitusional mereka, para jenderal CNS telah menutup dengan ketat proses pembuatan konsep konstitusi dengan memilih 1.981 anggota Majelis Rakyat Nasional (NPA) dari berbagai profesi dan propinsi untuk memilih 200 diantara mereka, dimana 100 diantaranya akan ditetapkan CNS untuk membentuk Majelis Pembuatan Konsep Konstitusi (CDA). Ke-100 anggota CDA itu akan menjalani seleksi lagi untuk memilih 25 orang yang akan membentuk Komite Pembuatan Konsep Konstitusi (CDC), bersama dengan 10 pakar tambahan yang ditunjuk CNS. CDC yang beranggotakan 35 orang itu kemudian akan membuat semacam konsep piagam yang harus disetujui oleh sebuah referendum publik.

Jika piagam itu gagal menjalani test referendum, CNS bisa memilih konstitusi manapun dari masa lalu dan mengumumkannya dengan resmi. Guna menjamin pengaruhnya atas proses yang ditarik dari NPA dan CDA menuju referendum, CNS dengan cerdiknya memberi kepercayaan kepada tokoh lama yang kedudukannya masih sah, Ketua Majelis Nasional Meechai Ruechupan, sebagai ketua pengawas.

Keributan dan kontroversi dalam penciutan 1.981 anggota NPA menjadi 200 anggota CDA, yang diketuai oleh Meechai, telah menimbulkan kecurigaan bahwa penyelesaian seperti itu adalah untuk piagam baru yang dinginkan oleh CNS. Apa yang nampak adalah usaha militer untuk kembali ke demokrasi Thai dibawah keyakinan sejati bahwa demokrasi liberal gaya Barat tidak cocok untuk Thailand. Bagaimanapun juga, piagam rakyat yang diumumkan tahun 1997 menyusul periode reformasi lima tahun yang sulit setelah kudeta berdarah oleh kediktatoran militer tersembunyi Mei 1992 berujung kepada kebangkitan Thaksin dan kekuasaan yang kasar.

Dalam pemikiran para jenderal CNS boleh jadi ada pola semi demokrasi yang relatif stabil di Thailand dalam periode 1990-1998, ketika jabatan perdana menteri berada di bawah integritas tokoh militer yang tidak terpilih yang membuat sejajarnya para politisi tidak bermoral dan partai-partai politik yang cengeng.

Yang menjadi masalah bagi para jenderal itu ialah Konstitusi 1997 yang begitu melekat merupakan langkah berat yang harus ditempuh. Konstitusi tersebut membuat publik yang punya hak suara merasa turut berkuasa secara demokratis yang tidak bisa dihapuskan dari kesadaran kolektifnya, semacam benchmark untuk penilaian piagam di masa depan.

Ekspektasi publik pasca kudeta difokuskan kepada perbaikan piagam 1997, bukan konstitusi baru yang akan memungkinkan tokoh-tokoh vested interest militer menjabat perdana menteri tanpa dipilih dan menjadi anggota Senat yang ditunjuk, dengan pengekangan selektif terhadap keterlibatan publik.

SIMPULAN

Krisis politik di Thailand mulai berkobar disulut aksi penjualan 49 persen saham Shin Corp kepada Temasek Holdings dari Singapura. Perusahaan tersebut dijual (dan keluarga Thaksin meraih keuntungan 1,9 miliar dollar AS) hanya dua hari setelah Pemerintah Thailand mengubah peraturan rasio kepemilikan saham perusahaan asing dari 25 menjadi 49 persen.

Tentang tuduhan memperkaya diri, Thaksin menjawab bahwa saham dimaksud justru dia jual agar keluarganya tak lagi ikut mengelola bisnis. ... sejak 16 tahun lalu peraturan menyebutkan, keuntungan dari perdagangan saham adalah bebas pajak dan berlaku untuk semua orang.

Dengan nada tinggi ditambahkannya, Sejumlah pengurus Partai Demokrat merupakan pemain bursa saham. Mereka setiap hari berdagang saham serta meraih keuntungan jutaan baht. Mengapa sekarang mereka mengkritik keluarga saya, sedangkan ketika menikmati keuntungan serupa, sama-sama bebas pajak, mereka tidak pernah mengatakannya.

Tidak terlampau mengejutkan bila di tengah proses demokratisasi yang dibangun di Thailand, secara politik tiba-tiba militer mengkudeta pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra Selasa malam lalu.

Hal ini disebabkan, pertama, sejarah Thailand amat lekat dengan sejarah kudeta militer dalam kurun 70 tahun terakhir. Kedua, peran kerajaan yang amat kuat, baik di mata pemerintahan dan rakyat Thailand, sehingga tanpa restu kerajaan, kudeta tak akan mendapat dukungan. Ketiga, posisi militer dalam krisis politik yang terjadi sekitar setahun terakhir cukup netral dalam konflik antara kubu Thaksin dan oposisi yang dipimpin oleh pengusaha media Sondhi Limthongkul dan mantan pejabat militer Chamlong Srimuang.

Kudeta yang berlangsung damai dan nyaris tanpa kerusuhan itu lebih disebabkan sinyal lampu hijau Raja Bhumibol Adulyadej yang menyebabkan tidak hanya rakyat Thailand, tetapi Thaksin pun "tunduk" atas kudeta militer. Di sinilah yang menarik dari proses demokrasi di Thailand, kekuasaan monarki konstitusional masih berpengaruh.

Pertanyaannya, apakah kudeta dilancarkan untuk menggulingkan Thaksinocracy yang dianggap memecah belah rakyat Thailand, atau penggulingan Thaksinomics? Pertanyaan ini terkait dengan masa depan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang selama ini dipandang sebelah mata dalam diskursus krisis politik di Thailand.

REFERENSI

Harto, Safri, 1997, Politik dan Ekonomi Pemerintahan Negara Asia Tenggara, Pekanbaru, Pustaka Pribadi Drs.Syafri Harto, M.Si.

Penggulingan "Thaksinomics" Oleh: R Herlambang Perdana

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/27/opini/2981317.htm

“Thailand di Persimpangan Jalan” Oleh: Julius Pour

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0603/09/ln/2495508.htm

Demokrasi Hilang di Thailand, Thaksin Tuduh Dunia Tutup Mata Posted in Luar Negeri by Redaksi on September 20th, 2007

http://hariansib.com/2007/09/20/demokrasi-hilang-di-thailand-thaksin-tuduh- dunia-tutup-mata/

Sebuah Peringatan Bagi Thailand Oleh: Dedy Permadi SIP, Staf Muda/Asisten Peneliti Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM Yogyakarta

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=179665&actmenu=39

Pasca Penggulingan Perdana Menteri Thaksin, Junta Militer Thailand Masih Bingung Jalankan Agenda Pemerintahan

http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=6812&coid=4&caid=33

Tidak ada komentar: