Motto

Never Think to STOP and Never Stop to THINK
Because EVERYTHING IS POSSIBLE IF YOU WANT AND TRY

Rabu, 11 Februari 2009

Selasa, 10 Februari 2009

PELANGGARAN HUKUM PERANG OLEH ISRAEL

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hukum perang (Laws of war) terbagi dua: (1) hukum mengenai tindakan yang dapat diterima dalam peperangan, seperti Konvensi Jenewa, yang disebut "Jus in bello"; (2) hukum mengenai penggunaan kekuatan senjata yang diizinkan, yang disebut "Jus ad bellum". Dalam kasus agresi yang dilancarkan oleh Israel ke Gaza merupakan bentuk pelanggaran dasar dari hukum perang diatas. Serangan Israel ke Gaza bersifat difensif, dimana melakukan penyerangan lansung secara brutal, serangannya tidak lagi bersifat bertahan tapi serangan tanpa memilih sasaran.
Sekarang sedang berlangsung perdebatan soal siapakah yang melanggar HAM dalam kasus invasi Israel ke Gaza yang sudah memasuki minggu ketiga, dan korban jatuh (terutama penduduk sipil) telah mencapai lebih 1100 jiwa. Sebagai perbandingan, perang Bosnia membuat mantan Presiden Serbia Slobodan Milosevic diadili masyarakat internasional (International Court of Justice) di Denhaag, Belanda. Kemudian rezim Pol Pot di Kamboja juga diadili masyarakat internasional atas tuduhan genosida terhadap rakyatnya sendiri. Mereka semua dituduh sebagai penjahat perang.
Sebagaimana kita tahu, untuk memelihara perdamaian di dunia pada 26 Juni 1945, ditandatangani Piagam PBB di San Francisco yang dua bab di antaranya berisi upaya penyelesaian pertikaian antarnegara anggota dengan peace making dan peace keeping. Penyelesaian perang di Gaza yang dilancarkan Israel oleh Dewan Keamanan (DK) PBB melahirkan resolusi untuk menghadirkan international monitoring force. Namun, resolusi itu ditolak, baik oleh Israel maupun Hamas (yang dianggap bukan negara/nonstate actor), dengan alasan masing-masing. Memang, sebelumnya telah ada gencatan senjata Israel-Palestina, namun pihak Hamas kembali menembakkan roket ke Israel.
Premis kuat Israel sebagai negara anggota PBB adalah haknya untuk membela diri, sehingga pada akhirnya militer Israel masuk ke Gaza untuk melumpuhkan kekuatan militer Hamas. Israel sebagai negara penandatangan Konvensi Jenewa mengerti akan isi konvensi yang mengatur untuk memisahkan noncombatant pada perang konvensional. Perang yang berlangsung di Gaza memang sulit, karena rakyat yang tidak terlibat (langsung) dalam perang tinggal bersama dengan pihak-pihak yang terlibat langsung, yakni Hamas. Sesuai bunyi Konvensi Jenewa, apabila Palang Merah Internasional belum hadir ke dalam daerah konflik, organisasi kemanusiaan yang hadir dapat melaksanakan tugas kemanusiaan dan ini telah dilaksanakan.
Namun, pihak satuan darat Israel membatasi jumlah kendaraan bantuan kemanusiaan yang masuk ke lokasi korban. Sidang Komisi HAM PBB di Jenewa setuju mengirim tim pencari fakta untuk memutuskan apakah Israel telah melanggar isi Konvensi Jenewa. Dapat dipastikan Israel berlindung pada isi Piagam PBB mengenai hak untuk mempertahankan diri dari serangan Hamas, dan Hamas telah menjadikan rakyat sebagai tameng hidup (human shield).
Upaya beladiri Israel dengan melancarkan urban operations untuk memburu personel Hamas, mencari arsenal, tempat penyimpanan roket dan lain-lain dengan tujuan akhir melumpuhkan kekuatan militer Hamas. Sebaliknya, apakah mungkin masyarakat internasional menjadikan pimpinan militer Hamas sebagai penjahat perang? Hamas sebagai nonstate actor sulit untuk dituntut sebagai penjahat perang meskipun jatuh korban beberapa rakyat Israel yang bermukim di utara Gaza.
Mengamati strategi perang Israel di Gaza, sulit bagi negara ini dikategorikan sebagai penjahat perang, begitu juga Hamas. Dalam kasus Serbia, jelas terjadi pembersihan etnis, begitu juga dalam kasus Kamboja, sehingga kedua negara itu diajukan ke mahkamah kejahatan perang. Dalam kasus Dili, apabila keputusan RI salah maka pemerintah RI juga akan disalahkan sebagai penjahat perang, dan sebagai anggota PBB, RI akan mendapat sanksi dari masyarakat internasional.

Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis membahas mengenai kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel terhadap Gaza yang termasuk palanggaran HAM berat, selain itu bentuk pelanggaran hukum perang terhadap Libanon yang katanya untuk melumpuhkan gerakan HAMAS yang melarikan diri ke Libanon. Karena hingga saat ini (20 Januari 2009) sudah menewaskan lebih dari 1000 warga sipil dan tentara HAMAS. Dalam kasus ini memang sulit dipahami dan diketahui siapa yang menjadi penjahat perang, apakah Israel atau Gaza. Namun dalam makalah ini penulis mengungkap bentuk atau bukti kejahatan perang yang dilakukan Israel atas pembantaian missal yang dilakukannya terhadap ribuan warga sipil.


Tujuan Penulisan
Tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini adalah:
• Menjelaskan bukti-bukti atau fakta data mengenai kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel
• Analisa mengenai serangan Israel ke Gaza
• Pelanggaran hukum perang Israel ke Libanon

PEMBAHASAN

Analisa Serangan Israel terhadap Gaza
Israel sang negara teroris sekali lagi membantai muslim di Gaza, padahal pejabat Israel telah membocorkan informasi tentang akan adanya serangan sejak dua minggu lalu dimana tidak akan ada siapapun yang selamat. Bahkan pejabat Israel juga menyebutkan bahwa Israel menunggu cuaca yang baik agar bisa membantai dengan baik. Pada Sabtu pagi tanggal 27 Desember di tengah hiruk pikuk kesibukan, pembantaian di mulai.
Gelombang serangan pertama terjadi secara terkoordinasi dalam tempo 3 menit dengan melibatkan 60 jet F-16 menyerang 50 titik target infrastruktur Gaza yang masih tersisa. Gelombang kedua menghancurkan markas HAMAS (perlu diingat bahwa markas tersebut terletak di tengah populasi warga sipil). Dalam satu jam serangan pertama, 155 korban tewas dan jenazah korban terus berdatangan dan memenuhi rumah sakit.
Dengan terbenamnya matahari di Gaza, Israel akan meneruskan serangannya sepanjang malam. Dengan laju serangan seperti ini, Israel akan segera kehabisan target dan Gaza pun akan jatuh. Tank-tank Israel sudah disiagakan dan mengepung Gaza, dan bersiap untuk memasukinya. Pejabat Israel berulang kali mengatakan bahwa serangan ini hanyalah pembukaan, yang dikonfirmasi oleh pernyataan Menteri Pertahanan Israel,’ saat untuk menyerang Gaza telah tiba dan operasi ini tidak akan berlangsung sebentar, operasi akan jauh lebih dalam dan luas apabila diperlukan.”
Israel membenarkan aksinya sebagai tanggapan terhadap tingkat serangan roket terhadap wilayahnya yang diluncurkan dari Gaza. Menlu Israel Tzipi Livni membela serangan udara ini dengan berkata dalam siaran TV,” Israel tidak punya pilihan. Kami melakukan apa yang kami harus lakukan untuk melindungi warga kami.” Israel menuduh HAMAS, yang memenangkan pemilu 18 bulan lalu dan didukung oleh Iran, sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap serangan roket ini.
Israel memang selalu mengkambinghitamkan HAMAS sebagai kelompok Islam radikal yang bertujuan menghapus Israel, padahal Israel telah memblokade Gaza sejak lama. Secara rutin, Israel menutup jalur penyeberangan perbatasan menuju Gaza, yang berakibat pada kelaparan massal. Dalam sebulan terakhir, penyeberangan menuju ke Gaza dibuka selama 5 hari saja. Perwakilan PBB untuk Gaza menggambarkan situasi yang menyedihkan sebagai berikut,” Tiap hari adalah perjuangan untuk tetap bertahan hidup. Warga benar-benar kelaparan. Semua serba kekurangan, termasuk makanan yang sempat habis selama dua hari, dan fakta yang semakin memburuk yang bisa berakhir kepada kepahitan… kami berusaha keras mencari alasan untuk memiliki harapan yang realistis.”

• Politik
Tanggapan dunia pun sudah bisa diduga. Israel tetap menjadi anak favorit bagi Barat. PM Inggris Gordon Brown dalam wawancara dengan BBC mengatakan bahwa ia ’sangat prihatin’ dan mengatakan bahwa milisi Palestina harus menghentikan serangan roket terhadap Israel, meskipun Palestina adalah pihak yang diserang dan Muslim dibantai.
Tanggapan penguasa muslim, yang selama ini tidak peduli terhadap jatuhnya korban muslim pun tidak bicara banyak. Mesir yang memiliki batas dengan jalur Gaza telah melakukan pembicaraan dengan Menlu Israel Tzipi Livni mengenai gencatan senjata. Hasilnya, Hamas menolak gencatan senjata selama Gaza masih diblokade Israel. Hubungan Mesir dengan Gaza pun memburuk. Telah diketahui bahwa Mesir marah besar ketika Hamas menolak berbicara dengan Fatah bulan lalu yang sedianya dijadwalkan berlangsung di Mesir. Media Arab pun melaporkan bahwa Hosni Mubarak juga menuduh Hamas telah melakukan kesalahan besar ketika menolak adanya gencatan senjata. Harian Al Quds Al Arabi yang berpusat di London juga melaporkan bahwa Mesir tidak akan memprotes serangan Israel, yang bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan Hamas di Gaza. Di samping itu keberadaan Tzipi Livni di ibukota Mesir adalah suatu peristiwa yang tidak biasa karena umumnya Hosni Mubarak menemui pejabat Israel di kawasan wisata Sharm el-Sheikh.
Operasi militer ini tidak hanya terbatas tapi juga berusaha untuk mengganti penguasa di Gaza, kalau tidak, kenapa Israel juga mentargetkan jajaran kepolisian? Yang menembakkan roket di Israel bukanlah para polisi dan polisi bertugas untuk menjaga keamanan di Gaza. Operasi ini ditujukan untuk menciptakan kekacauan dan kemungkinan besar Mesir dan Ramallah berkolusi dalam hal ini. Tidak mungkin berani Israel melancarkan serangan dalam skala sebesar ini tanpa adanya ijin dari kalangan tertentu, seperti Amerika, Eropa, dan juga Mesir dan Ramallah.
• Israel menggunakan muslim sebagai pion
Situasi politik domestik Israel jauh dari kestabilan selama setahun terakhir ini dan situasi tersebut adalah latar belakang serangan oportunis Israel terhadap Gaza. Sejak konflik Israel vs Lebanon pada tahun 2006, dimana Israel sendiri mengakui kekalahannya, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan kabinetnya telah dipermalukan. Tidak hanya kekalahan Lebanon, pemerintahan pimpinan Olmert juga tercemar dengan berbagai skandal yang menyebabkan tekanan publik yang berakhir pada turunnya Olmert sebagai ketua partai Kadima. Penggantinya, Tzipi Livni sejauh ini gagal untuk menyatukan koalisi yang memimpin pemerintahan Israel dan terpaksa melaksanakan Pemilu yang dijadwalkan pada bulan Februari 2009. Livni juga tidak dalam posisi untuk memenangkan Pemilu dalam bersaing melawan Benjamin Netanyahu dari Partai Likud. Dalam janji politiknya, Netanyahu menyatakan akan menumbangkan pemerintahan Hamas.
Survei yang diambil pada detik-detik dimulainya penyerangan oleh Israel menunjukkan bahwa partai Kadima mulai lebih populer. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan waktu penyerangan diatur sehingga popularitas Kadima bisa terangkat pada Pemilu yang sebentar lagi akan digelar. Kesibukan AS dalam persiapan prosesi peralihan pemerintahan dari Presiden Bush ke Presiden terpilih Obama, juga memberikan Israel kesempatan emas ketika AS sendiri masih disibukkan oleh penggantian kekuasaan.

Israel Melanggar Hukum Perang
Serangan Zionis Israel ke Palestina tidak bisa dibenarkan dan tidak dapat disebut sebagai pembelaan diri seperti diatur dalam Piagam PBB pasal 51. Selain tidak proporsional, serangan tersebut juga dilakukan secara terus menerus. Serangan di jaur Gaza tidak lagi menyerang kantong-kantong Hamas tapi juga masyarakat sipil, bangunan sekolah, dan rumah sakit. Peperangan yang dilancarkan Israel tidak lagi bersifat bertahan tapi serangan tanpa memilih sasaran. Jika mengacu pada pasal 51 Piagam PBB sebenarnya sebuah negara bisa melakukan serangan balik dengan mengkonfirmasi kepada PBB. Masalahnya Israel tidak melakukan hal tersebut. Serangan ini ilegal banyak kaidah peperangan yang sudah dilanggar. Terlihat banyak masyarakat sipil dan bangunan-bangunan yang jadi korban.
Untuk mengehentikan aksi Isarel tersebut, banyak pandangan yang mengatakan hanya dapat dilakukan jika AS ikut mengambil tindakan untuk menghentikan peperangan. Saat ini pemerintah AS beranggapan apa yang dilakukan Israel masih dalam tahap bertahan diri. Padahal konflik Israel Palestina sudah menjadi perhatian dunia yang belum terselesaikan dan parahnya belum tersentuh AS. Sepanjang pemerintah AS masih berada di belakang Isarel bahkan diam saja, Israel masih dalam tahap aman-aman saja. AS seharusnya netral atau mendukung peperangan dihentikan sesuai Piagam PBB. PBB diharapkan tegas dalam menanggapi pelanggaran terhadap hukum perang yang dilakukan Israel yang juga melanggar hak-hak asasi manusia (dalam hal ini masyarakat internasional Palestina).
Namun serangan Isarel juga dapat dihentikan dengan koalisi antarnegara termasuk mengirimkan gabungan militernya ke Jalur Gaza. Hal ini bukan dalam rangka memberi dukungan perang terhadap Hamas namun untuk memastikan aksi kekerasan terhadap warga sipil berhenti dan bantuan kemanusiaan dapat disalurkan.

Realita Israel Penjahat Perang
Dengan ketus, Golda Meir--perdana menteri Israel pertama--langsung menjawab, ''Palestina tak ada, sebagai bangsa, apalagi negara.'' Sebuah sikap politik yang penuh kebencian dan merenda sejarah panjang perseteruan dua anak bangsa serumpun: Yahudi versus Palestina, yang menelan korban tak bisa dihitung jumlahnya bagi suku bangsa terjajah (Palestina). Kebencian yang pernah dilontarkan Golda Meir dan generasi penerusnya ditindaklanjuti dengan sejumlah tindakan barbaristik yang sangat biadab. Dan, hal ini sudah tak aneh di mata publik internasional.
Sayangnya, di saat suasana Natal yang sering dikumandangkan dengan pesan-pesan kedamaian ataupun perdamaian di belahan mana pun, Palestina kembali bergolak dengan kejadian yang dikotori dengan mayat-mayat bergelimpangan dan lumuran darah. Itulah bombardir Israel ke tengah Gaza selama beberapa hari lalu yang menewaskan ratusan penduduk sipil bangsa Palestina, di samping yang luka-luka berat dan hancur luluhnya berbagai infrastruktur seusai Hari Natal itu. Dengan sedih sekaligus memprihatinkan, Natal 2008 'harus kita catat' gagal menciptakan misi kemanusiaan, setidaknya di tengah Palestina, tempat Bunda Maryam melahirkan putranya (Isa AS). Sebuah potret kegagalan yang harusnya membangkitkan semangat kalangan Nasrani di berbagai belahan dunia sebagai individu, komunitas, bahkan negara yang merayakan Natal untuk mengambil prakarsa segera menghentikan agresi yang sangat mengotori spirit kemanusiaan.
Fakta sungguh paradoks. Sejumlah negara 'Nasrani', termasuk Amerika Serikat, justru menjustifikasi agresi biadab itu. Maka, sangat dimaklumi jika saudara-saudara kita yang cinta kemanusiaan terpaksa harus menunjukkan sikap (kritik pedas) kepada suku utamanya, seperti AS, meski melalui kantor-kantor kedutaan, termasuk di Jakarta. Kini, kita perlu buka baju subjektivitas (pro-kontra Israel) yang menggiring tiadanya titik temu solusi. Yang perlu kita soroti tajam, bagaimana menyikapi tindakan zionis yang menelan korban ratusan jiwa, di samping luka-luka parah, apalagi para korbannya kebanyakan kaum sipil (anak-anak dan kaum wanita). Agresi yang dilakukan oleh Israel, dari kacamata apa pun, sulit untuk tidak dikategorikan sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan.
Realitas menunjukkan bahwa pembombardiran yang dilakukan Israel bukan hanya melampaui batas, tapi sungguh-sungguh biadab, yang tingkat penderitaannya tidak hanya hari ini atau beberapa bulan setelahnya. Karena itu, sikap politik dunia yang harus dibangun bukanlah sekadar menggiring dunia (Dewan Keamanan PBB) mengeluarkan resolusi gencatan senjata atau mengutuk, apalagi hanya menyesalkan. Hal ini karena sikap politik Israel bukan hanya mengabaikan suara dunia, tapi jika mengindahkan pun, tidak konsisten. Hal ini tak pernah membuat para pemimpin zionis mengakhiri kebiadabannya. Jika penghentiannya bersifat sesaat, akan selalu diulangi lagi kebiadabannya. Apalagi, kepentingan subjektifnya merasa terancam dan terganggu.
Belajar dari perangai politik zionis itu kiranya menjadi krusial jika pemimpin Israel--siapa pun yang berkuasa--harus digiring ke statuta hukum yang sangat keras: dinilai sebagai penjahat perang akibat agresi biadabnya. Inilah kategori yang tak pernah diformat dalam kerangka mengakhiri konflik rasial yang berkepanjangan di antara dua anak bangsa serumpun itu hingga kini. Jika kita buka lembaran historis dunia, kategorisasi itu (penjahat perang) relatif mampu mengakhiri konflik etnik. Sekadar contoh faktual yang dapat kita petik dari perang 1992-1995 di Bosnia-Herzegovina, di mana tentara Serbia Bosnia membantai sekitar 8.000 kaum Muslim pada Juli 1995, sebuah peristiwa yang disebut-sebut sebagai pembantaian yang paling mengerikan sejak akhir Perang Dunia II. Akibat tindakan pembasmian etnik ini, Pengadilan Militer Internasional di Den Haag memutuskan penjahat perang kepada Milenko Trifunovic, Brano Dzinic, dan Radovan Karadzic (mantan presiden Serbia Bosnia) yang masing-masing dikenai hukuman 42 tahun. Juga, kepada Milos Stupar, Slobodan Jakovljevic, dan Branislav yang masing-masing harus menjalani hukuman selama 40 tahun.
Yang perlu digarisbawahi, penyeretan mereka ke meja hijau dan pengenaannya sebagai penjahat perang benar-benar mengakhiri kondisi perang etnik di tengah Serbia Bosnia. Bahkan, akhirnya, bisa hidup berdampingan dengan masyarakat Muslim Bosnia-Herzegovina, sebuah 'komponen' anak bangsa yang sama-sama warga besar bekas negara Yugoslavia. Contoh yang masih segar itu kiranya layak diterapkan untuk melihat serangan Israel terhadap anak bangsa Palestina. Namun, dapat diprediksi, negara-negara maju, seperti AS atau dari komponen Eropa, bukan hanya tak sependapat dengan kategorisasi itu, tapi akan melawan gerakan kategorisasi itu, termasuk hak veto jika kondisi politiknya masuk ke ranah Dewan Keamanan PBB. Namun, reaksi subjektif mereka dapat di-counter dengan Konvensi Geneva (KG). Berdasarkan beberapa pasal yang dilahirkan pada 12 Agustus 1949 itu, bombardir Israel 'menabrak' beberapa pasal KG, antara lain Pasal 16 (kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia, termasuk kejahatan agresi), Pasal 17 (kejahatan genosida), Pasal 18 (kejahatan terhadap kemanusiaan), dan Pasal 20 (kejahatan perang). Pasal-pasal ini cukup tepat untuk menjerat para pemimpin atau perancang atau pelaksana dari Israel yang melakukan operasi militer di tengah Gaza itu. Jika kita analisis keempat pasal tersebut, fakta politik menunjukkan bahwa negeri zionis sejak berdirinya pada 14 Agustus 1948 hingga kini terus menciptakan ketidakdamaian, terutama kepada bangsa Palestina, baik secara masif maupun sporadis.
Sejak pendudukannya pada 1949 di Kota Suci Jerussalem, Israel terus memperluas pendudukannya pada 1967 dengan menguasai seluruh wilayah Palestina, bahkan sampai ke Sinai dan Dataran Tinggi Golan. Kejahatan yang dilakukan Israel terhadap kemanusiaan tak pernah berhenti. Bahkan, pada 1982, ketika berhasil mengepung sebagian wilayah Lebanon selatan, masyarakat Palestina di kamp-kamp Sebra dan Satilla menjadi sasaran pembantaian (genosida) dalam jumlah ribuan jiwa. Jumlah pembantaian etnik ini belum termasuk pembantaian secara militeristik, dalam jarak dekat ataupun jauh seperti yang baru-baru ini dilancarkan. Secara kuantitatif, korban anak bangsa Palestina sudah sulit dihitung.
Mencermati kejahatan serius Israel itu sungguh tepat memberlakukan keempat pasal KG, apalagi korban yang menjadi sasaran utama serangannya adalah masyarakat sipil. Padahal, menurut Konvensi Geneva IV, jelas-jelas harus dilindungi (the protected persons). Tidak hanya dalam waktu perang (bilateral ataupun konflik internal), tapi dalam waktu damai. Apalagi, keberadaan warga sipil dari sebuah negara yang berbeda mempunyai kedaulatan. Sekali lagi, siapa pun dari unsur Israel yang secara aktif berperan dalam memerintahkan perencanaan, persiapan, inisiasi, atau memicu terjadinya sebuah agresi haruslah bertanggung jawab atas kejahatan agresinya, baik sebagai kepala negara maupun aparat yang menjadi pemimpin (leader) atau penyelenggara (organizer). Semua itu harus diseret ke pengadilan militer internasional. Kita perlu meneropong, sampai sejauh mana prospek penyeretan para agresor Israel ke meja hijau internasional? Cukup diragukan memang. Landasannya, manusia zionis berada di mana-mana. Mereka, sebagai warga negara atau pemimpin strategis di sejumlah negara maju, memegang peran penting di lembaga-lembaga internasional, termasuk di Mahkamah Internasional atau Pengadilan Militer Internasional. Dan, yang tak kalah strategisnya adalah kekuasaannya di industri media massa. Dalam konteks ini, manusia-manusia zionis sangat berkepentingan untuk melakukan counter terhadap isu Israel sebagai penjahat perang.
Kini, dunia Islam ataupun masyarakat Muslim di seantero dunia, setidaknya para pecinta kemanusiaan, perlu menggalang sikap: Israel memang penjahat perang. Pembangunan opini ini perlu dikembangkan secara masif-produktif dan diembuskan secara internasional. Misalnya, melalui PBB atau negara-negara maju dengan mengembangkan opini tentang Israel sebagai penjahat perang yang akan dihadapkan pada dilema. Di sisi lain, yang pro-Israel akan menolak kategorisasi itu. Padahal, fakta kebiadaban dengan melakukan kejahatan serius terhadap kemanusiaan sulit dibantah. Hal ini akan membuat sebuah kemungkinan: pemprosesan hukum untuk kejahatan Israel. Targetnya jelas: penghentian nafsu pembantaian etnik (bangsa) tertentu di muka bumi ini, yang memang harus dilindungi. Tanpa penegakan hukum ini (status Israel sebagai penjahat perang) akan terjadi instabilitas di tengah dua negara yang dilanda konflik itu dan menjadi potensi destabilitas dunia. Di sinilah urgensi kesadaran negara-negara adidaya jika sungguh-sungguh menghormati hak-hak kemanusiaan.

Kejahatan Perang Israel terhadap Libanon
Serangan Israel dengan menggunakan pesawat tempur yang memuntahkan bom-bom berdaya ledak besar terhadap objek-objek sipil di Libanon telah berlangsung satu bulan sepanjang bulan Juli 2006 dan awal Agustus 2006. Agresi Israel tampaknya masih terus berlanjut. Sasarannya bukan hanya sentra kegiatan pasukan [milisi] Hizbullah di perbatasan Israel-Libanon, tetapi termasuk pemboman ke ibukota Beirut dan beberapa kota lain. Pasukan Multinasional (Multi-National Forces) untuk meredam pertempuran di Libanon sedang dipersiapkan [termasuk kontingen tentara dari Indonesia], tetapi perlu menunggu keputusan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang masih diwarnai standar ganda dalam sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS).
Israel pernah melakukan serangan besar-besaran seperti itu ke Libanon Selatan pada 24 tahun lampau dengan tujuan untuk melemahkan perjuangan Palestina. Kita ingat tahun 1982 tentara Israel melakukan invasi ke Libanon, menggempur dan memporak-porandakan kamp pengungsi Palestina di Shabra dan Shatila. Namun tidak ada tindakan keras yang dikenakan terhadap pemerintah Israel dan tidak ada petinggi militer Israel yang diajukan ke pengadilan internasional. Jauh berbeda dengan kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) dan pelanggaran hukum berat (grave breaches) di Bosnia dan Rwanda. [1]
Tahun 2006 pemerintah Zionis Israel melakukannya lagi, tanpa alasan yang kuat atau yang dapat dibenarkan menurut aturan hukum internasional dan hukum humaniter (misalnya, ada alasan dan bukti bahwa keamanan Israel terancam). Memang kemudian pasukan Hizbullah juga membalas dengan meluncurkan beberapa kali serangan bom ke wilayah utara Israel, tetapi tindakan “bela diri” itu sebenarnya dipicu oleh arogansi sikap dan aksi serangan brutal Israel ke Libanon Selatan.
Dan sekarang juga dilakukan Israel penyerangan tiba-tiba ke Libanon, Israel membombardir Libanon yang katanya pasukan HAMAS melarikan diri ke Libanon. Tindakan Israel ini sangat dikecam dunia Internasional karena sudah sangat keterlaluan. Atas dasar itu Israel dapat dikategorikan sebagai penjahat perang.
Beberapa kategori tindakan kejahatan/pelanggaran berat adalah sbb :
• Willful Killing (Pembunuhan yang direncanakan/disengaja)
• Torture or Inhuman Treatment, including Biological Experiment. (Penyiksaan atau perlakuan tidak berperikemanusiaan, termasuk bila manusia digunakan untuk eksperimen biologik)
• Wilfully Causing Great Suffering
• Destruction of Property Unjustified by Military Necessity
• Compelling Civilians or Prisoners of War to Serve the Hostile power
• Wilfully Depriving Civilians or Prisonesrs of war of a Fair Trial
• Unlawful Deportation of Confinement of Civilians
• The Taking of Hostages
Dalam hal serangan udara yang berlanjut dengan agresi militer Israel ke wilayah Libanon (Juli+Agustus2006 dan bersamaan dengan agresi ke Gaza), ketentuan yang secara faktual telah dilanggar oleh Israel adalah Nomor 1 (pemboman yang membantai penduduk sipil), 3 (menimbulkan derita dan kesengsaraan berkelanjutan) , 4 (menghancurkan pemukiman dan rumah-rumah).
Hal ini tentunya disorot tajam oleh dunia internasional dan bukan hanya oleh negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Unjukrasa mengecam Israel, berlangsung di berbagai negara, termasuk di negara-negara Eropa Barat. Namun pemerintah Zionis Yahudi itu tidak bergeming dan terus melanjutkan aksi pemboman yang tidak berperikemanusiaan serta tegas menolak himbauan gencatan senjata.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukannya tidak memperhatikan hal yang mengenaskan itu. Dewan Keamanan PBB telah bersidang membahasnya, tetapi Amerika Serikat (AS) memveto Rancangan Resolusi Dewan Keamanan PBB (yang isinya mengutuk kekejaman Israel dan mendesak Israel untuk menghentikan aksi pemboman). Tidak aneh dan bukan hal baru bahwa AS hampir selalu menyatakan penolakan (veto) di DK-PBB dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan Israel.
Upaya lebih lanjut yang dapat dilakukan oleh negara-negara anggota PBB adalah melalui Majelis Umum PBB, karena dalam MU-PBB tidak berlaku hak veto. Cara ini dikenal sebagai pola “Uniting for Peace”, yang justru pernah ditempuh oleh AS pada tahun 1950 untuk menghasilkan Resolusi PBB menyangkut pecahnya Perang Korea. Ketika itu AS berhasil dalam upayanya mengalihkan rancangan Resolusi melalui DK-PBB yang diveto oleh Uni Soviet (Rusia), untuk dibahas oleh Sidang Istimewa (Sidang Darurat) Majelis Umum PBB.
Resolusi MU-PBB yang dikeluarkan pada tahun 1950 itu dikenal sebagai “Uniting for Peace Resolution No. 377A / 1950”. Selanjutnya MU-PBB belum pernah mengeluarkan lagi resolusi semacam itu dan tampaknya bisa saja cara seperti itu ditempuh lagi pada tahun 2006 ini. Untuk menembus kebuntuan di DK PBB. Cuma masalahnya kemudian apakah Resolusi MU-PBB itu bisa cukup efektif untuk menekan pemerintah Israel menghentikan aksi-aksi brutalnya di Libanon dan Palestina.
Lalu jika PBB tidak mampu bertindak untuk mengendalikan serta mendamaikan situasi “perang” di Libanon melalui himbauan atau resolusi, apa yang bisa dilakukan dalam waktu dekat ini ? Pilihannya adalah mengirimkan Pasukan Multi-Nasional (Multi-National Forces) untuk memisahkan pihak-pihak yang bertikai itu atau Gencatan Senjata di antara kedua pihak yang sama-sama berjanji tidak akan melakukan serangan.